The nostalgia got me right in the feels.
Itulah yang saya rasakan ketika berhasil menyelesaikan buku Harry Potter and The Cursed Child. Saya mungkin terlambat karena baru membaca buku ini sekarang, mengingat para bookworms lain sudah merasakan sensasi euforianya pada bulan Juli dan Agustus lalu. Namun, tetap saja; tidak kata terlambat untuk membaca buku Harry Potter. Benar? Saya yang tadinya sengaja menunggu Harry Potter and The Cursed Child dalam bahasa Indonesia, pada akhirnya memutuskan untuk membaca buku ini dalam bahasa aslinya setelah teman-teman pembaca lain heboh berkicau di dunia maya.
Untuk yang belum tahu, Harry Potter and The Cursed Child adalah sebuah buku berisi skrip pertunjukan yang ditulis oleh Jack Throne dan John Tiffany. Meski begitu, JK Rowling selaku penggagas kisah Harry Potter ini ikut turun serta dalam proses penulisan dan perumusan jalan ceritanya. Buku ini disebut-sebut sebagai ‘buku kedelapan’ dari serial Harry Potter, meski kisah utama yang diangkat dalam buku ini bukan lagi tentang Harry melainkan tentang anak laki-lakinya yang bernama Albus Severus Potter. Waktu pertama kali dengar tentang rencana peluncuran Harry Potter and The Cursed Child, saya heboh bukan main.
Kisah dibuka dengan adegan yang mengingatkan kita pada epilog di buku ketujuh Harry Potter yang berjudul Harry Potter and The Deathly Hallows. Harry dan Ginny melepas kedua anak mereka, James dan Albus, untuk pergi ke Hogwarts. Pembaca akan disambut dengan kehebohan pada stasiun King’s Cross yang ramai dan juga Peron 9 ¾ yang sangat fenomenal. Melewati peron, Hogwarts Express sudah siap dengan asap yang mengepul dari salah satu cerobongnya, dan dipenuhi dengan para penyihir muda yang bersiap berangkat ke Hogwarts. Harry sibuk meyakinkan anak keduanya, Albus, yang akan menjalani tahun pertamanya di Hogwarts. Albus sangat khawatir jika dirinya akan masuk ke dalam asrama Slytherin, sebab ia ingin mengikuti jejak ayah dan kakak pertamanya, James, yang masuk ke asrama Gryffindor.
Albus: Do you think – what if I am – what if I’m put in Slytherin…
Harry: And what would be wrong with that?
Albus: Slytherin is the House of the snake, of Dark Magic… It’s not a House of brave wizards.
Harry: Albus Severus, you were named after one of headmasters of Hogwarts. One of them was a Slytherin and he was probably the bravest man I ever knew.
Di stasiun tersebut, Ron dan Hermione juga mengantarkan kepergian anak mereka, Rose Granger-Weasley yang akan melewati tahun pertamanya seperti Albus. Berbeda dengan Albus yang penuh kekhawatiran, Rose justru lebih percaya diri bahwa dirinya akan masuk ke asrama Gryffindor. Namun, bukan berarti Rose tidak punya ketakutan tersendiri. Ketika Harry mengeluhkan bahwa Albus khawatir akan masuk ke asrama Slytherin, Hermione justru membahas bahwa kekhawatiran Rose lebih besar itu.
Harry: Strange, Al being worried he’ll be sorted into Slytherin.
Hermione: That’s nothing, Rose is worried whether she’ll break the Quiditch scoring record in her first or second year. And how early she can take her O.W.L.s
Ron: I have no idea where she gets her ambition from.
Hogwarts Express kemudian mulai bergerak, meninggalkan King’s Cross dengan tujuan akhir Hogwarts. Di dalam kereta, Albus dan Rose berusaha mencari kompartemen yang kosong. Rose berulang kali mengingatkan bahwa mereka harus berhati-hati dalam memilih teman. Ia berkaca pada kisah Harry, Ron, dan Hermione, yang bertemu di tahun pertama sekolah dan di atas kereta Hogwarts Express. Teman pertama yang mereka temukan akan menentukan kehidupan mereka selama di Hogwarts.
Albus kemudian menemukan sebuah kompartemen yang hanya dihuni oleh satu orang anak laki-laki, yang langsung menyambut Albus dan Rose dengan ramah. Ia menawarkan gula-gula dan juga cokelat kepada Albus. Albus dengan senang hati menerima tawarannya dan memutuskan untuk duduk di kompartemen tersebut. Namun tidak dengan Rose. Rose langsung menyadari bahwa anak laki-laki itu adalah Scorpius, anak dari Draco Malfoy dan Astoria. Rose berusaha keras untuk meyakinkan Albus agar tidak berteman dengan Scorpius, namun gagal. Albus dan Scorpius kemudian berteman dan duduk di dalam kompartemen yang sama.
Sampai di Hogwarts, semua penyihir tahun pertama disambut oleh Sorting Hat. Seperti yang sudah diduga, Rose masuk ke dalam asrama Gryffindor. Tetapi, tidak untuk Albus. Sorting Hat memutuskan Albus untuk masuk ke dalam asrama Slytherin, sama seperti Scorpius. Hal ini tentunya mengecewakan bagi Albus dan sekaligus mengagetkan siswa lainnya. Tidak ada yang percaya bahwa anak dari Harry Potter harus masuk ke asrama Slytherin. Kekecewaan yang dirasakan oleh Albus tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika pelajaran terbang bersama Madam Hooch, ia bahkan tidak bisa mengangkat sapu terbangnya. Dari semua siswa yang mengikuti pelajaran tersebut, hanya Albus saja yang gagal.
Polly Chapman: Oh Merlin’s beard, how humiliating! He really isn’t like his father at all, is he?
Karl Jenkins: Albus Potter, the Slytherin Squib.
Selama tiga tahun berikutnya, Albus pun merasa bahwa dirinya sangat berbeda dengan ayah dan kakaknya. Reputasi ayahnya yang dikenal sebagai pahlawan dalam dunia sihir justru sangat memberatkan. Albus merasa gagal, tidak bisa dibanggakan, dan menganggap dirinya sebagai pecundang. Hubungan antara Albus dan Harry pun semakin merenggang. Di sisi lain, Scorpius merasa sedih karena ibunya, Astoria, baru saja meninggal. Tidak hanya itu, Scorpius pun harus menghadapi rumor yang mengatakan bahwa dirinya adalah anak dari Voldemort karena Draco Malfoy memanfaatkan Time-Turner. Sementara itu, Rose semakin populer di Hogwarts karena kepandaiannya dan karena posisinya sebagai Chaser di Gryffindor Quidditch Team.
Pada sebuah musim panas, Ministry of Magic dikejutkan dengan berita penemuan Time-Turner ilegal yang dimiliki oleh mantan Death Eater. Harry yang menjabat sebagai Head of the Department of Magical Law Enforcement langsung berdiskusi dengan Hermione untuk menentukan langkah pencegahan berikutnya. Datanglah Amos Diggory, ayah dari almarhum Cedric, yang meminta Harry untuk menggunakan Time-Turner untuk menyelamatkan Cedric. Harry menolak permintaan tersebut dan mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki Time-Turner. Yang sebenarnya adalah bohong besar karena Time-Turner yang disita dari mantan Death Eater tersebut disimpan dengan rapi di kantornya oleh Hermione.
Albus tahu bahwa ayahnya berbohong. Dan ia pun merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk membuktikan dirinya, bahwa ia bukanlah anak yang gagal. Bahwa ia pun bisa berguna bagi keberlangsungan hidup di dunia sihir. Ia kemudian mengajak Scorpius untuk mengikuti rencananya. Mereka berdua melarikan diri dari Hogwarts Express dan pergi menemui Amos Diggory. Albus berkata bahwa ia berjanji untuk membawa Cedric kembali dengan menggunakan Time-Turner. Awalnya Amos menolak, namun setelah diyakinkan oleh Delphini Diggory, sepupu dan juga pengasuhnya, Amos pun menyetujuinya.
Di sisi lain, akhir-akhir ini Harry selalu mengalami mimpi yang berhubungan dengan masa lalunya. Bekas lukanya pun kembali terasa nyeri setelah selama bertahun-tahun tidak pernah terasa. Harry pun meningkatkan antisipasinya. Ia yakin bahwa sesuatu yang berhubungan dengan Voldemort sedang berada di dekatnya dan menunggu waktu yang tepat untuk berhadapan dengannya. Sejalan dengan itu, hubungan Harry dengan Albus pun semakin meruncing. Hal ini dipicu dengan sebuah kejadian, ketika Harry memberikan selimut bayi kepada Albus. Selimut itu dulu digunakan Lilly untuk membungkus dirinya ketika Voldemort membunuh kedua orang tua Harry. Selimut itu sangat berarti sekali untuk Harry dan ia ingin Albus untuk memilikinya.
Harry: Albus, I want you to have the blanket.
Albus: And do what with it? Fairy wings make sense, Dad, invisibility cloaks, they also make sense – but this –really?
Albus menolak memiliki selimut tersebut. Ia merasa Harry tidak adil pada dirinya. James mendapatkan invisibility cloaks dan Lilly, adik perempuannya, mendapatkan fairy wings. Hanya Albus saja yang mendapatkan selimut yang tidak bisa dimanfaatkan. Albus tidak tahu, bahwa pada satu ketika, selimut inilah yang akan menyelamatkan dirinya. Ia marah dan tanpa sengaja berkata bahwa ia tidak ingin menjadi anak Harry. Harry pun emosi dan berkata bahwa ia berharap ia tidak memiliki anak seperti Albus.
Albus: No! I just wish you weren’t my dad.
Harry (seeing red): Well, there are times I wish you weren’t my son.
Terlepas dari pertengkarannya dengan ayahnya, Albus tetap melaksanakan rencana penyelamatan Cedric. Bersama dengan Scorpius dan juga Delphi, mereka meminum ramuan polyjuice dan menyelinap masuk ke dalam ministry untuk mencuri Time-Turner yang disembunyikan di sana. Mereka menyamar sebagai Harry, Ron, dan Hermione, dan berhasil lolos untuk masuk ke dalam kantor milik Hermione. Setelah berhasil mencuri Time-Turner, maka dimulailah petualangan mereka. Albus dan Scorpius memutar waktu dan kembali ke masa Triwizard Tournament untuk mencegah Cedric memenangkan turnamen tersebut. Cedric terbunuh ketika memegang piala Triwizard bersama dengan Harry, untuk itu mereka berdua melakukan segala cara agar Cedric tidak sampai ke final. Mulai dari memanipulasi tongkatnya saat tantangan pertama hingga mempermalukan Cedric agar gagal saat mengerjakan tugas.
Hanya saja, konflik dimulai dari titik ini. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi di masa lalu, akan berdampak pada semua hal di masa depan. Albus dan Scorpius menyadari hal tersebut ketika mereka menemukan keanehan di masa depan setelah menggunakan Time-Turner. Bahkan, ada satu titik ketika Albus menghilang karena tidak pernah dilahirkan. Scorpius pun berusaha memperbaiki keadaan dan kembali memutar waktu untuk mengulang semuanya. Keadaan semakin meruncing ketika Albus berhasil kembali dan mereka menemukan fakta mengejutkan tentang siapa sebenarnya Delphi. Bahwa Delphi bukanlah sepupu dari Cedric Diggory seperti yang diyakini oleh semua orang.
Buku Harry Potter and The Cursed Child dibagi menjadi dua part, dengan masing-masing part yang berisi dua act. Buku ini bukanlah novel, tetapi sebuah skrip. Oleh sebab itu, jangan heran jika menemukan bahwa buku ini tidak ditulis dalam bentuk narasi tetapi dalam bentuk dialog. Deskripsi suasana dan tempat digambarkan secara gamblang dan tidak begitu detail, namun tetap tidak mengurangi kenikmatan membaca.
Saya sendiri sungguh menikmati buku ini. Meski di beberapa bagian saya menemukan plothole karena tidak sesuai dengan buku-buku sebelumnya, tetapi hal itu masih bisa diterima karena tampaknya sengaja dilakukan untuk membangun cerita. Ada beberapa bagian yang membuat saya terkejut karena twist yang tersimpan di dalamnya dan saya yakin semua pembaca pasti merasakan yang sama ketika membaca part ini. Banyak sekali emosi yang bermain di dalam Harry Potter and The Cursed Child; semakin dibaca, semakin dalam kita akan tenggelam di dalamnya. Ada bagian yang membuat tersenyum karena Ron bertingkah konyol, ada bagian yang membuat kesal karena Harry bertingkah tidak bijak, dan ada pula bagian yang membuat hati hangat karena chemistry antara Albus dan Scorpius sangatlah kuat.
It is really nice to see all the characters we’ve come to love come back to life again.
Sebagai salah satu anak yang tumbuh besar bersama serial Harry Potter, saya merasakan perasaan nostalgia yang begitu besar saat pertama kali membaca Harry Potter and The Cursed Child. Melihat karakter-karakter favorit saya hidup, berinteraksi, dan berpetualangan bersama membuat saya kembali teringat dengan kisah-kisah yang pernah saya baca di tujuh buku Harry Potter sebelumnya. Tidak hanya itu, buku ini membuat saya simpatik dengan Draco Malfoy, tokoh yang sebelumnya saya benci setengah mati, terlepas dari apa pun yang pernah ia lakukan kepada Harry. Draco berubah menjadi pribadi yang lebih humanis meski tak bisa melepaskan kesan angkuh yang memang melekat padanya. Dan Scorpius Malfoy! Saya jatuh cinta sekali dengan karakternya. Scorpius sangat cerdas, polos, sedikit kikuk, namun sangat lovable. Persahabatannya dengan Albus benar-benar mencuri perhatian saya sepanjang kisah buku ini.
Hanya saja, buku ini tidak terasa seperti buku Harry Potter. Mungkin karena formatnya yang berbeda, mungkin karena tokoh utamanya bukan lagi Harry Potter, atau mungkin karena buku ini ditulis oleh tiga orang yang berbeda. Tapi, satu hal yang pasti; twist yang disimpan di dalam buku ini terlalu besar dan membuat saya harus berpikir dua kali untuk meyakinkan diri bahwa hal tersebut betul-betul terjadi. Agak tidak masuk akal jika dipikir ulang, tapi mau bagaimana lagi? Memang itulah yang disimpan sepanjang cerita.
Harry: We’ve been so busy trying to rewrite our own pasts, we’ve blighted their present.
Kesimpulannya, Harry Potter and The Cursed Child doesn’t feel like Harry Potter at all but still magical to me. Saya bisa membayangkan betapa megahnya pertunjukan Harry Potter and The Cursed Child, mengingat skripnya saja sudah berhasil membuat saya terperangah. I’d love to watch the play! Buat kamu yang belum membacanya, I suggest you to give it a try. Mungkin tidak terasa memuaskan, tapi perasaan nostalgia dan magis yang kamu rasakan ketika melihat para karakter muncul sungguh tidak tergantikan. Jadi, selamat membaca!
Thoughts on book: Mixed feelings, but IT’S HARRY POTTER so ok. I give it 3/5 stars.